Bias konfirmasi atau confirmation bias adalah suatu kecenderungan bagi orang-orang untuk mencari bukti-bukti yang mendukung pendapat atau kepercayaannya serta mengabaikan bukti-bukti yang menyatakan sebaliknya. Dalam pergaulan di media sosial, fenomena ini juga dengan fenomena filter bubble dan echo chamber yang menyebabkan berkelompoknya orang-orang dengan ide, pemikiran atau keyakinan yang sama, dan meberikan jarak kepada yang berbeda pandangan.
Pemilihan bukti-bukti yang “disukai” juga dikenal dengan istilah chery picking. Petik ceri (bahasa Inggris: cherry picking), bukti timpang (suppressing evidence), atau kesesatan bukti tak lengkap (fallacy of incomplete evidence) adalah tindakan memilih-milih kasus atau data individual yang dipandang dapat membenarkan keadaan tertentu, sambil mengabaikan sebagian besar kasus atau data terkait yang bertentangan dengan keadaan tersebut. (wikipedia)
Dalam mencari kebenaran memang diperlukan hipotesa awal, lalu dicari bukti-bukti. Kalau dalam perjalanannya bukti-bukti melawan hipotesa awal, maka kesimpulannya tidak terbukti, jadi fakta berbalik. Mencari bukti-bukti yang mendukung saja tidak sesuai dengan asal pencarian kebenaran. Kesalahan pemikiran ini menyebabkan penarikan kesimpulan yang salah dan merintangi pembelajaran yang efektif.
Mengenai kesalahan dalam pola berpikir bias konfirmasi disinggung secara tidak langsung oleh Francis Bacon dalam esainya, Novum Organum. Ia menceritakan mengenai seorang pengunjung di sebuah kuil Romawi yang sebelumnya juga pernah diceritakan oleh Cicero. Orang Romawi bercerita mengenai kehebatan dewa-dewa mereka agar pengunjung tersebut terkesan dan kemudian memperlihatkan sebuah gambar beberapa pelaut yang selamat dari kecelakaan kapal karena rajin berdoa.
Menyikapi hal tersebut, sang pengunjung bertanya, “Di mana gambar mereka yang sudah berdoa tetapi tetap tenggelam?”.
Dari cerita tersebut, penyampai cerita hanya menyampaikan satu sisi bukti, yaitu orang-orang yang selamat karena rajin berdoa, padahal bisa saja ada yang rajin berdoa tapi tidak selamat.
Apa bahayanya jebakan ini dalam pergaulan di media sosial?
Terjebak daam bias konfirmasi menyebabkan kita tidak obyektif dalam menilai suatu berita atau informasi. Karena kita hanya mencari berita yang sesuai dengan keyakinan awal kita, kita akan menyingkirkan berita-berita yang tidak sesuai dengan persepsi awal kita. Itulah bahayanya. Karena bisa jadi berita-berita yang kita singkirkan itu adalah berita yang benar.
Sikap seperti ini mudah membawa kita pada terperangkan informasi hoax, membawa kita pada lingkaran pergaulan (circle) yang sempit, dan menjauhkan dengan orang-orang yang berbeda pandangan. Ini juga menyebabkan informasi yang kita terima jadi tidak lengkap.
Dalam pers ada istilah “cover both side”, membuka dari kedua sisi, atau mencari informasi dari dua sisi. Dengan jebakan bias konformasi kita secara tidak sadar akan melihat suatu informasi atau berita hanya dari satu sisi.
Contohnya, orang yang tidak percaya Covid 19 dan vaksin akan mencari berita-berita yang sesuai dengan keyakinannya. Walaupun banyak ahli dan profesor menyatakan tentang bahaya Covid 19, dia akan lebih percaya pendapat satu orang walaupun dari segi kapasitas tidak terpercaya.
Atau dari 100 berita tentang keamanan vaksin, dia lebih percaya 1 berita tentang KIPI (gejala paska imunisasi/vaksinasi). Itulah, karena dia terperangkan bias konfirmasi, hanya percaya dengan apa yang sudah dipercayai di awal.
Secara umum, berdasarkan yang diketahui saat ini, bias konfirmasi bisa jadi disebabkan oleh keterbatasan kapasitas otak manusia untuk memproses secara lengkap informasi yang tersedia, sehingga menyebabkan kegagalan untuk menafsirkan informasi dengan cara yang netral dan ilmiah.
Sumber foto:
ichi.pro
patahtumbuh.com