Media sosial mencatat aktivitas kita, apa yang kita sukai, status teman yang sering kita komentari, tempat yang sering kita kunjungi, berita yang sering dibaca, kata kunci yang sering kita masukkan, dll. Ini dicatat oleh algoritma media sosial untuk memetakan karakteristik pengguna, tujuannya, untuk menampilkan iklan yang relevan.
Jadi kalau kita suka masak, maka di beranda atau linimasa kita akan banyak ditampilkan iklan-iklan tentang peralatan memasak, teman-teman yang suka memasak, atau berita kejuaraan memasak.
Sebenarnya tujuannya baik, mendekatkan orang dengan apa yang disukai, tapi ternyata ada sisi negatifnya, bisa dibilang jebakan kalau kita tidak hati-hati. Namanya fenomena Filter Bubble atau gelembung penyaring.
Apa itu filter bubble?
Istilah filter bubble pertama kali diungkapkan oleh aktivis internet Eli Pariser tahun 2010, yaitu kondisi isolasi intelektual akibat algoritma media sosial yang memberikan rekomendasi kepada pengguna berdasarkan apa yang pernah diklik, di-like, dibaca, dikomentari, dikunjungi, dll.
Akibat filter bubble, pengguna cenderung hanya menerima informasi yang sesuai dengan minatnya affiliasi politiknya, pandangan kegamaannya, dan lain-lain.
Ada banyak filter bubble berdasar kesamaan pandangan di media sosial, kita bisa masuk dalam beberapa filter bubble. Misalnya kita suka ikan hias, olah raga bersepeda, pendukung Jokowi, penggemar dangdut, dll. Maka akan terbentuk filter bubble ikan hias, bersepeda, pendukung Jokowi, dan penggemar dangdut.
Filter bubble yang berbahaya adalah yang bertipe ideologi, politik, atau pandangan keagamaan.
Misalnya pengguna ada di filter bubble pendukung Jokowi, maka yang muncul misalnya berita-berita mengenai prestasi Jokowi, perjalanannya, keluarganya, kegiatannya, dan semua yang positif tentang Jokowi. Sementara yang negatif, yang mengkritik nyaris tidak masuk, atau kalau ada satu dua yang negatif langsung disingkirkan.
Akibatnya pandangan politik bisa menjadi kaku: Jokowi pasti benar, Jokowi yang terbaik, dll. Padahal setiap sosok pasti punya kelemahan, apalagi dalam politik, perlu ada kritik agar ada koreksi dan perbaikan.
Ini juga berlaku untuk filter bubble tokoh politik yang lain, misalnya filter bubble pendukung Prabowo, Anies Baswedan, Ganjar Pranowo, Ridwan Kamil, filter bubble pendukung partai politik, dll.
Ini juga berbahaya kalau pengguna memasuki filter bubble orang-orang yang tidak percaya vaksin, percaya vaksin mengandung microchip. Dalam filter bubble anti vaksin, maka lini masanya akan dibanjiri dengan berita-berita dan teman-teman yang percaya mengena hoaks vaksin, kegagalan vaksin, resiko vaksin. Sementara banyak berita terpercaya mengenai kegunaan vaksin, keberhasilan vaksin, tidak masuk karena ter-filter.
Terus-menerus menerima informasi salah tentang kegagalan vaksin, dikelilingi teman-teman yang juga tidak percaya mengenai vaksin menjadikan penebalan keyakinan akan kebenaran pandangan atau pengetahuannya.
Akibatnya, pengguna bisa tidak menyadari kalau pandangannya salah.
Kondisi ini bisa terjadi karena pengguna yang terperangkap dalam filter bubble jarang atau tidak pernah mendapat berita dengan sudut pandang lain atau yang berlawanan dengan keyakinan pengguna. Akibatnya padangannya menjadi sempit.
Bagaimana menghindari perangkap filter bubble? Dengan melihat keluar lingkaran, melihat kelompok lain, dan mencari berita dengan sudut pandang yang berbeda. Secara sikap bisa menerapkan sikap skeptis terhadap semua informasi yang ada sampai bisa mengujinya dan terbukti benar. Dengan sikap skeptis bisa menjadikan hati-hati bila mendapatkan berita atau kabar.
Filter bubble menyebabkan pandangan yang seragam, maka perbanyaklah sudut pandang agar kita bisa menerima kebenaran versi lain. Dengan banyak sudut pandang, kita lebih bisa menerima perbedaan.
One thought on “Mengenal Filter Bubble, jebakan di media sosial”